Pernahkah Anda Disogok Untuk Menulis Berita?": Pertanyaan Klasik yang Mengguncang Dunia Jurnalisme
- Redaksi
- Kamis, 10 Juli 2025 20:24
- 24 Lihat
- Berita Umum

Bandung, Media Budaya Indonesia.com - Di tengah banjirnya informasi yang setiap hari membanjiri ruang publik, satu pertanyaan tajam dan sensitif kerap mencuat dalam forum-forum diskusi jurnalistik :
“Pernahkah Anda, sebagai jurnalis, menerima sogokan untuk menulis atau mengubah isi berita ?”
Pertanyaan ini bukan sekadar bentuk kecurigaan publik. Ini adalah refleksi dari krisis kepercayaan terhadap media yang semakin kompleks, terutama di tengah era di mana kebenaran kerap dipertukarkan dengan kepentingan, Kamis (10/7).
Ketika Berita Bisa Dibelokkan
Jurnalisme sejatinya adalah pagar demokrasi, namun pagar itu sering digoyang oleh tekanan kekuasaan dan kepentingan uang.
“Godaan itu ada setiap hari. Kadang berupa amplop usai liputan, kadang janji kerja sama iklan kalau beritanya ‘baik’. Tidak semua bisa menolak,” ujar Damar Widiyanto, mantan pemimpin redaksi media nasional yang kini aktif sebagai dosen komunikasi di Jakarta.
Menurutnya, wartawan di lapangan, terutama yang belum mapan secara finansial, rentan terhadap pendekatan-pendekatan transaksional. “Yang lemah integritasnya akan goyah. Tapi yang kuat prinsipnya akan tetap menulis kebenaran, apapun risikonya.”
Budaya Amplop yang Tak Pernah Mati
Praktik “amplop” pemberian uang atau hadiah kepada wartawan untuk memengaruhi pemberitaan, meski sudah lama dikritik, tetap hidup hingga hari ini.
Dewan Pers melalui Kode Etik Jurnalistik Pasal 6 dengan tegas melarang wartawan menerima imbalan dalam bentuk apa pun yang berpotensi memengaruhi independensi.
Namun kenyataan di lapangan berbicara lain.
“Praktik pemberian amplop seringkali justru difasilitasi oleh humas pemerintah atau perusahaan,” ungkap Ratih Pratiwi, pengacara publik dari LBH Pers.
“Ini bukan hanya soal wartawan yang lemah integritas, tapi juga sistem yang tidak memberi ruang jurnalisme independen bertahan hidup secara wajar.”
LSM Soroti Lemahnya Pengawasan Etik
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bahkan pernah merilis pernyataan keras pada 2024 lalu, mengkritik media-media yang menurut mereka secara terang-terangan memuat konten “berbayar” tanpa penandaan yang jelas.
“Ini bentuk manipulasi terhadap pembaca. Jika wartawan menerima sogokan untuk memberitakan sesuatu, lalu apa bedanya berita dengan iklan terselubung ?” ujar Tulus Abadi, Ketua Harian YLKI.
Wartawan Senior :
“Pertanyaannya Sah, Jawabannya yang Sulit”
Ketika pertanyaan “Pernahkah Anda menerima sogokan ?” dilontarkan dalam sebuah forum jurnalis muda, suasana sempat hening.
Seorang jurnalis senior dari media TV nasional angkat bicara :
“Pertanyaannya sah, dan harus terus diajukan. Tapi jawabannya tidak mudah. Kadang penolakan terhadap sogokan tidak datang dalam bentuk heroik, tapi dalam bentuk diam dan menjauh.”
Kejujuran Adalah Berita Terbaik
Kepercayaan publik terhadap media tidak dibangun dalam semalam dan bisa runtuh hanya dengan satu berita yang tak jujur. Karena itu, menjaga integritas bukan hanya tanggung jawab individu wartawan, tapi seluruh ekosistem media.
Pertanyaan seperti “Pernahkah Anda menerima sogokan ?” adalah cermin. Bagi jurnalis, pertanyaan ini mungkin terasa menohok. Tapi justru dari keberanian untuk menjawabnya dengan jujur atau bahkan hanya merenungkannya jurnalisme bisa kembali menemukan martabatnya.
(Dicky S / Saiful