Menata Kota Pelabuhan Menuju Indonesia Emas 2045: Kolaborasi untuk Masa Depan Maritim yang Inklusif
- Redaksi
- Sabtu, 31 Mei 2025 13:27
- 56 Lihat
- Berita Umum

Jakarta , Media Budaya Indonesia.Com – Dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Nasional, Komite Masyarakat Pengawas Kota Pelabuhan (KOMPASKOPEL) bekerja sama dengan Lembaga Sukses Jakarta (LSJ) menyelenggarakan Seminar Nasional bertema “Penataan Kota Pelabuhan Menuju Indonesia Emas 2045” pada Rabu, 28 Mei 2025, di Museum Maritim Indonesia, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Seminar ini menjadi ruang diskusi strategis bagi pemerintah, pelaku industri, peneliti, dan masyarakat dalam menjawab tantangan dan peluang penataan kota pelabuhan yang semakin kompleks. Kegiatan ini juga menjadi bagian dari rangkaian ART MARKET EXHIBITION 2025 yang berlangsung selama 14 hari dengan tema “Kebangkitan Maritim Nusantara”.
Acara dibuka oleh Dr. Ali Maulana Hakim, S.IP., M.Si., selaku Asisten Kesejahteraan Rakyat Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta, mewakili Gubernur yang berhalangan hadir. Dalam sambutannya, ia menyampaikan apresiasi kepada penyelenggara serta dukungan kepada PELINDO atas fasilitasi tempat pameran dan seminar.
Dalam keynote speech, Dr. Ali menyoroti pentingnya kolaborasi semua pihak dalam menata kawasan pelabuhan agar seimbang antara kebutuhan logistik dan kepentingan warga. Salah satu solusi konkret yang diusulkan adalah pembangunan terminal terpadu digital yang berfungsi sebagai buffer zone untuk kendaraan logistik, sehingga dapat mengurangi kemacetan dan meningkatkan keselamatan warga sekitar pelabuhan.
Wim Pondang Parulian Hutajulu, SE, mewakili Kepala KSOP Utama Tanjung Priok, memaparkan bahwa pihaknya telah menjalankan Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 11 Tahun 2024 tentang Rencana Induk Pelabuhan Tanjung Priok-Marunda Terintegrasi.
KSOP menargetkan pertumbuhan arus peti kemas hingga 12,5 juta TEUs dan non-peti kemas hingga 47,9 juta ton pada tahun 2042. Dalam jangka pendek, dilakukan relokasi terminal penumpang ke Pelabuhan Sunda Kelapa, serta penataan kawasan Kalibaru dan pengembangan akses transportasi pendukung.
KSOP juga mengajukan dukungan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mempercepat pembaruan Dokumen Lingkungan Kawasan (DLKr-DLKp) sebagai landasan hukum pengembangan pelabuhan ke depan.
Mewakili PELINDO, Bapak Chandra menegaskan bahwa Pelindo Regional 2 Tanjung Priok menangani lebih dari 60% arus barang nasional dan merupakan pelabuhan terbesar di Indonesia. Untuk menjawab peningkatan kebutuhan logistik, PELINDO tengah mengembangkan Container Terminal 2 dan 3 (CT2 & CT3) yang ditargetkan rampung tahun 2027, serta memperluas area buffer di kawasan timur pelabuhan.
Pelindo juga mengembangkan Terminal Booking System (TBS) serta Integrated Traffic & Capacity Management Center untuk meningkatkan efisiensi layanan logistik dan mempercepat transformasi digital pelabuhan.
Peneliti senior BRIN, Ibu Umi Mu’awanah, Ph.D., menekankan pentingnya pendekatan ilmiah dalam mitigasi persoalan pelabuhan. Ia menyayangkan pendekatan yang masih reaktif dan menyarankan agar sistem buffer area dikembangkan dengan teknologi IoT dan kecerdasan buatan (AI) sejak tahap perencanaan.
“Ilmu pengetahuan jangan hadir terakhir, tapi justru harus menjadi panglima dalam perencanaan kebijakan,” tegasnya. Ia juga menyoroti pentingnya keterlibatan masyarakat sebagai pemilik sumber daya (resources owner) yang perlu dilindungi haknya.
Anggota Komisi XII DPR RI, Ibu Nurwayah, S.Pd., menyampaikan dukungan terhadap gagasan pembangunan terminal terpadu yang inklusif. Ia juga menyoroti keluhan masyarakat mengenai parkir liar truk trailer dan pool kontainer yang berada di tengah permukiman.
“Zonasi harus ditegakkan. Pembangunan pelabuhan harus memperhatikan AMDAL dan isu polusi lingkungan, agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat sekitar,” ujarnya. Ia menegaskan, kemajuan pelabuhan harus berjalan beriringan dengan kesejahteraan masyarakat.
Peserta seminar yang hadir secara luring dan daring menyampaikan harapan agar pembangunan kota pelabuhan tidak hanya menguntungkan industri, tetapi juga masyarakat sekitar yang selama ini belum sepenuhnya merasakan manfaatnya. Beberapa peserta juga mengingatkan potensi konflik yang bisa terjadi jika komunikasi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat tidak dikelola secara transparan dan adil.
Seminar ini menjadi refleksi dan langkah awal menuju integrasi kawasan pelabuhan yang berkelanjutan, inklusif, dan berbasis teknologi. Harapannya, hasil diskusi ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan dalam merancang masa depan pelabuhan nasional menuju Indonesia Emas 2045.
(NK)